SKI feature
Semangat Ibu-Ibu Pekerja Kuli Kebun Tebu Di Masa Pandemi COVID-19
Suarakumandang.com, BERITA MAGETAN. Agar terhindar dari daun tebu yang mengakibatkan gatal-gatal pada tubuh terpaksa para ibu memakai sarung tangan, sepatu boot dan pakaian dobel.
Tak hanya itu, tujuan lain memakai pakaian dobel dan caping untuk menghindari panasnya terik matahari di siang bolong.
Canda tawa bergurau sesama teman tak begitu dirasa ketika mereka memulai bekerja. Ketika mereka sudah masuk dalam perkebunan tebu hanya terdengar suara tawa celotehan dan tarikan daun tebu kering saat dilepas dari batang tebu.
Dengan memakai pakaian apa adanya, di masa pandemi COVID-19 ibu-ibu ini nampak tetap semangat bekerja. Alasan bekerja tak lain adalah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Jumlah mereka 15 orang, setiap hari diantar oleh Lasito yang merupakan sopir antar jemput mereka. “Semua itu warga sekitar sini saja mas, ada yang rumahnya Desa Silotinatah, Desa Plangkrongan pokoknya warga sekitar sini,” kata Lasito.
Pekerjaan mereka adalah ngramut tebu (menjaga tebu-red) mulai tanam hingga panen, demikianlah kata Lasito. “Ngramut tebu itu adalah membersihkan daun tebu yang kering, mencangkul, memupuk dan masih banyak lainnya,” jelasnya. Selasa, (04/01/2022).
Untuk mengramut tebu para pekerja tidak diberi target untuk menyelesaikan dalam satu lahan perkebunan tebu, sebab, menurut Lasito mengramut tebu tidak semudah yang dibayangkan karena kondisi cuaca.
Lahan yang mereka kerjakan adalah milik salah satu warga Kecamatan Kawedanan yang merupakan lahan sewa dari perangkat desa di Kabupaten Magetan. ”Bos Kami itu menyewa lahan bengkok lalu ditanami tebu. Untuk merawat perkebunan tebu memperkerjakan mereka,” papar Lasito.
“Bengkoknya tidak hanya di sini saja mas, hampir seluruh Magetan, jadi mereka itu bekerja pindah-pindah dan Saya yang antar jemput,” sambung Lasito.
Mereka bekerja dari pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB dengan upah Rp 60 ribu. Untuk istirahat mulai pukul 11.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB. ”Kalau makan mereka membawa bekal sendiri-sendiri,” jelas Lasito.
Bekal makan siang kebanyakan yang mereka bawa seadanya. Bahkan lauk untuk makan siang lebih dari cukup terkadang ada yang memakai lauk telur, sambel sayuran yang dibawa dari rumah.
Pekerjaan yang mereka lakukan sebagai pengramut tebu tidak mengenal musim entah itu musim kemarau maupun penghujan.
Bekerja sebagai pengramut tebu tidak ada libur, namun jika ada yang ingin libur pihak pemilik tebu mempersilahkan. “Biasanya mereka ingin libur pas tahun baru, atau hari Minggu bisa juga hari biasa saat ada kerepotan di rumahnya,” paparnya.
“Kalau soal gaji mereka menerima setiap satu minggu sekali setiap hari Sabtu, biasanya bosnya itu hari Sabtu datang sekitar jam 3 sore sampai 5 sore untuk memberikan upah mereka” ucapnya.
Para pekerja rata-rata usia antara 35 sampai 45 tahun, mereka mengaku bekerja sebagai pengramut perkebunan tebu untuk membantu sang suami guna mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Seperti Sri Hartati warga Desa Silotinatah, ibu dua anak ini sudah bekerja sebagai pengramut tebu sudah 15 tahun.
Sejak bekerja sebagai pengramut tebu suka dukanya yang dialami ibu dua anak ini cukup banyak, salah satunya sering menjumpai binatang yang berbahaya seperti ular, namun meski demikian ibu yang sudah mengkuliahkan anaknya sampai perguruan tinggi di Malang itu tetap selalu waspada dengan memakai pakaian dobel dan sepatu boot.
Jurnalis: Cahyo Nugroho.
Pingback: Semangat Ibu-Ibu Pekerja Kuli Kebun Tebu Di Masa Pandemi COVID-19 - Kabar Magetan