SKI Artikel
Refleksi Rasa Persaudaraan Pasca-Pilkada Serentak

Nur salam anggota KPU Kabupaten Magetan
Suarakumandang.com,BERITA MAGETAN. Masa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Tahun 2018 di Jawa Timur telah berakhir. Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati terpilih sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU ). Bahkan dari sebagian besar Bupati dan wakil Bupati terpilih telah dilantik oleh Mendagri.
Pilkada serentak 2018 juga telah usai digelar di Kabupaten Magetan. Pilkada Magetan diikuti oleh tiga pasangan calon. Pasangan nomor urut satu Suyatni Priasmoro dan Abdul Wahid yang di usung oleh Partai Nasdem dan PKB. Pasangan nomor urut dua, Ir. H. SH. Miratul Mukminin dan Joko Suyono yang diusung koalisi PDIP, Golkar, PKS, Gerindra dan PAN. Sedangan Nomor urut tiga, Dr. Drs. Suprawoto, SH, MSi dan Hj. Nanik Endang Rusminiarti, MPd yang diusung koalisi Partai Demokrat dan PPP.
Hasilnya sesuai dengan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Magetanpasangan nomor urut tiga Dr. Drs. Suprawoto, SH, MSi dan Hj. Nanik Endang Rusminiarti, MPd meraup suara tertinggi 164.932. Sementara perolehan suara kedua ditempati oleh pasangan nomor urut satu Suyatni Priasmoro dan Abdul Wahid dengan meraup 115.395 suara. Sementara dengan perolehan suara 103.176, pasangan nomor urut dua, Ir. H. SH. Miratul Mukminin dan Joko Suyono menempati peringkat ketiga. Kini bupati dan wakil bupati terpilih Dr. Drs. Suprawoto, SH, MSi dan Hj. Nanik Endang Rusminiarti, MPd telah dilantik Senin 24 September lalu dan resmi menahkodai jalanya pemerintahan Kabupaten Magetan.
Meski tidak memunculkan konflik dan benturan keras dikalangan masyarakat Magetan, namun selama perhelatan dan pasca pilkada, acapkali menjadi masa yang kerap menimbulkan ketegangan sosial. Kerukunan dan hubungan persaudaraan dikalangan masyarakat merenggang, bahkan tak jarang berubah menjadi permusuhan. Ketegangan antar suami dan istri, antara orang tua dengan anak, hingga antar tetanggapun kerap muncul selama berlangsungnya pilkada. Karena beda pilihan, upaya mempengaruhi pilihan yang keras juga kerap memunculkan ketegangan antara masyarakat desa dengan perangkatnya, dengan tokoh hingga pejabat. Bahkan ketengangan ini cenderung menjurus pada konflik yang berlangsung sangat lama.
Kontestasi perebutan kursi nomor satu di tingkat kabupaten Magetan ini, tak jarang memunculkan intrik-intrik politikyang sudah harus berhenti segera setelah pesta demokrasi usai. Semua pihak harus kembali menggelorakan semangat gotong royong dan rasa persatuan di atas hasil kontestasi, sepanas apa pun suasana psikologis pihak-pihak tertentu atas hasil yang telah ditetapkan.
Sejatinya, nafas dari demokrasi mengajarkan kearifan kepada semua pihak untuk menerima apa pun hasil kompetisi dan tetap menjunjung persatuan di tengah banyaknya perbedaan yang mencuat selama proses kontestasi. Karena kepentingan masyarakat luas di magetan, harus berdiri kokoh di atas fondasi persaudaraan dan persatuan, bukan di atas kepentingan satu atau beberapa kelompok. Jadi, untuk mendamaikan rasa persaudaraan dan demokrasi yang cenderung memecah-belah, memang dibutuhkan sebentuk sikap arif dalam menerima apa pun hasil dari kompetisi demokratik.
Pentingnya rasa persaudaraan dan persatuan dapat kita tengok dari sejarah berdirinya bangsa ini. Sejarah telah mencatat, aksi melawan penjajahan dimulai dari organisasi-organisasi yang menyadari bahwa perlawanan terhadap penjajah hanya bisa berhasil jika ada rasa persaudaraan dan persatuan kebangsaan yang kuat. Lahirnya rasa persaudaraan sebagai fondasi persatuan berdirnya bangsa ini tidaklah mudah dan membutuhkan proses panjang. Rasa kebangsaan muncul atas penindasan yang memakan banyak korban, hingga lahirnya rasa senasib sepananggungan.
Dalam melahirkan episode kebangkitan nasional itu pun bukanlah perjuangan sederhana. Tidak terkira besarnya pengorbanan yang telah diberikan para pahlawan pendiri bangsa ini untuk melahirkan Republik Indonesia. Momentum kebangkitan nasional adalah salah satu momentum krusial yang pernah dihadapi Indonesia. Bahkan masa itu adalah masa di mana sebuah lompatan besar terjadi melampaui konsep kedaerahan, kesukuan, dan sikap serta perilaku tradisional menuju langkah solid membentuk sebuah bangsa.
Indonesia menata diri untuk berserikat secara modern, membangun kekuatan dari susunan orang-orang yang plural, belajar menyelesaikan masalah dengan keputusan dan implementasi kolektif, mengubah dari perjuangan yang spontan menjadi perjuangan yang sistematis dan terencana.
Dalam konteks kekinian, pendekatan dan pemahaman tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena demokrasi telah disepakati sebagai aturan main utama, pendekatan yang dilakukan harus pula berupa pendekatan yang lunak, persuasif, dan partisipatif. Namun, bukan berarti pendekatan yang koersif tidak diperlukan.
Resolusi konflik pasca Pilkada
Konflik dapat diartikan dengan beberapa makna. Konflik (Surbakti, 1992: 149), memiliki makna “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dan kelompok, kelompok dan individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi di antara anggota masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik politik berkaitan dengan penguasa politik atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Masalah yang dipertentangkan dalam konflik politik berada pada tingkatan political (Urbaningrum, 1999: 9).
Untuk menyelesaikan konflik, ada istilah resolusi konflik. Resolusi konflik dapat diartikan sebagai usaha menyelesaikan konflik dengan cara-cara analitis dan masuk ke akar permasalahan. Mengikuti pendapat Askandar, resolusi konflik dijalankan untuk memberikan penyelesaian yang diterima (Askandar, 2002: 10). Resolusi konflik menurut Harjana terdiri dari 5 (lima) bentuk :
Pertama, bersaing dan bertanding (competiting); menguasai (dominating); dan memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah.Kedua, kerjasama (collaborating) dan menghadapi (confronting). Dalam hal ini, pihak yang terlibat konflik bekerja sama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara ini merupakan pendekatan menang-menang. Ketiga, kompromi (compromising) dan berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang / kalah. Keempat, menghindari (avoiding) atau menarik (withdrawal). Dalam pendekatan kalah-kalah ini, kedua belah pihak tidak memperjuangkan kepentingan masing-masing bahkan mereka tidak menarik perhatian pada perkara yang dikonflikkan. Kelima, menyesuaikan (accommodating); memperlunak (smoothing); dan menurut (obliging). Bentuk pengelolaan konflik ini merupakan pendekatan kalahmenang (Hardjana, 1994: 49)
Tingkat keberhasilan sebuah resolusi konflik dikaitkan dengan efektivitas resolusi konflik. Efektivitas resolusi konflik secara umum lebih dilihat dalam 3 (tiga) tingkatan. Pertama, efektivitas yang tinggi yaitu upaya resolusi berhasil mentransformasikan konflik politik menjadi konsensus (Fatah, 2002: 47). Kedua, efektivitas semu. Resolusi konflik hanya berhasil menekan bentuk konflik politik dari permukaan atas ke bawah permukaan. Ketiga, efektivitas yang rendah, yaitu resolusi konflik yang tidak berhasil meresolusikan konflik menjadi konsensus, baik secara substansial maupun semu. Bentuk dari konflik ini biasanya dimatikan secara koersif / represif (Fatah, 2002: 56-57).
Selain resolusi konflik, dalam kajian teoretis tentang konflik terdapat juga istilah pengaturan konflik. Pengaturan konflik adalah pengendalian konflik yang lebih diarahkan kepada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Bentuk pengaturan konflik ada tiga kategori, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Hendropuspito mengatakan bahwa konsiliasi adalah suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses ini pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ketiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara tuntas dan menyeluruh (Surata, 2001: 18).
Bentuk kedua, mediasi, adalah salah satu alternatif terhadap pemecahan konflik. Secara sederhana, mediasi dapat diartikan sebagai perbantuan dari sebuah ‟institusi ketiga‟ yang netral untuk mencapai negosiasi (Bingham, 1986: 5). Dahrendorf menjelaskan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk pengaturan konflik dimana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli / lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan), tetapi nasihat yang diberikan mediator ini tidak mengikat mereka (Surbakti, 1992: 160). Bentuk yang terakhir, arbitrasi, merupakan bentuk dimana kedua pihak sepakat mendapat keputusan akhir (yang bersifat legal) sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator. Pengadilan / lembaga-lembaga arbitrasi lainnya dapat dipilih sebagai arbitrator (Surbakti, 1992: 160).
Pemulihan rasa persaudaraan
Tak dapat dipungkiri bahwa masing-masing individu memiliki pilihannya sendiri pada perhelatan pilakada di Magetan. Setelah pilkada ini berakhir, tentunya ada pihak yang menang dan yang kalah. Yang menang tentunya merayakan kemenangan, dan yang kalah tentunya akan merefleksikan kekalahanya.
Sikap siap menyongsong kemenagan maupun menerima kekalahan penting menjadi dasar bagi para paslon untuk bisa juga menenangkan para pendukungnya. Memang bukan hanya paslon yang akan merasakan bahagia atau pun sedih terhadap hasil pilkada, namun para pendukungnya juga merasakan hal yang sama.Dalam hal ini, perdamaian perlu dijaga agar tidak timbul kegaduhan atau pun konflik dari masing-masing pendukung paslon yang jumlahnya sangat banyak. Dalam hal ini pemerintah juga berperan dalam menjaga keamanan dan meredam konflik di masyarakat.
Seusai pilkada ini, masyarakat tetap perlu diedukasi untuk menerima segala keputusan dari hasil pemilu. Hal dilakukan dangan membangkitkan kembali rasa persaudaraan diantara kita. Bahwa pilkada merupakan salah satu sarana untuk menggapai tujuan yang sama diantara semua masyrakat. Yakni terciptanya masyrakat yang adil dan makmur.Sedari awal, masing-masing paslon sudah menyadari siap menang dan siap kalah. Maka kemenangan dan kekalahan itu akan bisa diterima dengan bijak. Tidak hanya itu, pendukungnya pun diajak bersama-sama untuk menerima hasil keputusan pilkada. Siapa pun yang terpilih adalah yang terbaik yang diharapkan dapat memimpin daerah menjadi lebih maju dan sejahtera.
Setelah itu, yang menjadi poin selanjutnya adalah bagaimana bersama-sama dalam memajukan daerah. Mengakui pemimpin baru tersebut sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah lewat pilkada. Mematuhi setiap keputusan dan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Jangan ada lagi penyesalan dan segera moveon dari hasil pilkada.
Dukung setiap program kerja pemerintahannya demi kemajuan daerah. Bagaimana pun kita harus siap untuk dipimpin oleh seseorang yang memenangkan pilkada sekalipun kita tidak memilihnya. Itu bagian dari sikap bijak menghormati sistem demokrasi yang telah kita anut selama ini. Lewat berbagai visi dan misi yang sudah disuarakan selama masa kampanye dan juga program kerjanya yang telah kita tahu sebelum memilih mereka. Dengan pilkada ini, tentunya ada harapan baru agar magetan semakin maju.Berkaca pada kenyataan tersebut, terpenting adalah bagaimana kita mendukung program kerja kepala daerah dan wakilnya bisa berjalan dengan baik. Kita doakan bahwa mereka yang menang bisa menjalankan amanah jabatan dengan sebaik mungkin. Memajukan daerah yang berimbas pada kesejahteraan rakyatnya. Menguatkan persatuan seluruh masyarakatnya, Amin.
oleh:Nur Salam – Anggota KPU Kabupaten Magetan